Senin, 06 Desember 2010

Indonesia di Antara Belanda dan Jerman

Font size: Decrease font Enlarge font
image
Irfan Bachdim.
"Yang saya pikirkan saat ini hanyalah bagaimana membantu tim meraih kemenangan atas Laos. Saya tak ingin memikirkan semua pemberitaan tentang keber­hasilan di pertandingan pertama. Saya juga tidak menargetkan harus mencetak gol."
Inilah salah satu materi perbincangan saya dengan Irfan Bachdim, Jumat (3/12) siang, di Hotel Sultan, Jakarta. Tawaran untuk berjumpa Irfan dari seorang sahabat yang menjadi sosok kepercayaan striker anyar timnas itu tak saya sia-siakan.
Penampilan Irfan dalam debutnya berkostum Merah-Putih melawan Malaysia di pertandingan pertama penyisihan Grup A (1/12) telah mengundang decak kagum. Sontak, ia mem­punyai lebih dari 44 ribu pengikut di Twitter.
Bagi saya, bukan soal kemenang­an semata yang mem­­buat anak muda kelahiran Belanda ini menonjol. Tapi ia mem­beri pembedaan dalam tim nasional yang selama ini kita kenal.
Dalam diskusi kecil bersama sejumlah kenalan di Stadion Gelora Bung Karno usai menyak­sikan kemenangan 5-1 Indonesia atas Malaysia itu, nama Irfan Bachdim nyaris muncul pertama dalam daftar pujian mereka.
Daya juang dan kemauannya mencari kemenangan menjadi sisi yang begitu menonjol.
Tentu saja saya ingin tahu apa tanggapannya menyikapi reaksi positif masyarakat. "Saya tak menyangka akan seperti ini. Terima kasih atas semua pujian. Saya hanya ingin ber­main mengenakan kostum tim nasional Indonesia."
Walau telah berulang kali membaca alasan kedatangan Irfan ke Tanah Air dan memilih Indonesia sebagai negara yang dibela, saya harus menanyakan langsung kepadanya.
Jawabannya sungguh menyenang­­kan. Katanya, "Indo­nesia ada di darah saya. Saya ingin membuat orang tua saya bangga dengan mengenakan kostum tim nasional."
Irfan lahir dan dibesarkan di Belanda. Ia baru beberapa bulan berada di Indonesia dan masih belum menguasai bahasa asal ayahnya, Noval Bachdim. Tapi daya juangnya mempersembahkan kemenangan yang dinanti-nanti publik sepak bola Indonesia seolah tidak memperlihatkan dirinya masih asing di negara ini.
Walau tak penuh, darah Indonesia di tubuhnya seperti menggelora membela harga diri bangsa ini di hadapan tetangga yang semakin kurang ajar dan memancing kemarahan kita. Itu pula sebabnya publik mulai membanding-bandingkan Irfan dengan Boaz Solossa yang menolak panggilan tim nasional tepat waktu.
Siapa sangka, awalnya anak muda berusia 22 tahun ini di pandang sebelah mata oleh sebagian insan sepak bola kita. Keinginan Irfan menjadi warga negara Indonesia adalah pilihan­nya karena sadar persaingan mengetuk pintu tim nasional Belanda terlalu berat baginya.
"Saya tidak memilih dengan terpaksa. Sekali lagi, Indonesia adalah pilihan terbaik yang saya ambil dan saya sungguh ingin membuat orang tua bahagia," ujar Irfan sambil mengenang kesulit­an yang ia alami sejak datang ke Tanah Air serta ditolak Persija dan Persib.
Itu sebabnya, Irfan mengaku tak akan bisa melupakan sosok bernama Timo Scheunemann. Pelatih Persema tersebut seperti memulihkan kepercayaan diri Irfan ketika mengajaknya ber­gabung di klub Malang tersebut.
"Saya sangat hormat padanya. Hanya Timo yang percaya bahwa saya mampu bermain di Liga Indonesia dan bisa menembus tim nasional seperti impian saya," kata Irfan.
Irfan yang lahir dan besar di Amsterdam, Belanda, serta Timo Timo Scheunemann, pria Jerman yang lahir di Kediri, Jawa Timur. Bila Irfan mampu tampil konsisten dan mengembalikan harga diri sepak bola kita di kawasan Asia Tenggara, sosok Timo-pun layak dipuji.
Belum tentu kita akan melihat aksi-aksi Irfan menggantikan peran Bambang Pamungkas di lini depan Tim Garuda bila seandainya dia tidak jatuh ke pelukan Timo.
Tentu saja kita perlu memberi batas pujian terhadap Irfan. Jalan­nya masih panjang dan berliku. Seperti ia tegaskan pada saya, "Yang terpenting adalah kemenangan Indonesia, bukan tentang saya atau berapa gol yang akan saya cetak di pertandingan berikut." #

Weshley Hutagalung
Bookmark and Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar